Senin, Oktober 17, 2016

Mental Hectic pada Anak , apa itu

MENTAL HECTIC (sebut saja MH). Istilah ini belakangan agak menjadi trending topics di banyak kalangan pemerhati perkembangan anak dan dunia Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Bagaimana tidak, gara-gara istilah ini banyak orangtua yang jadi bimbang untuk menyekolahkan putra-putrinya di sekolah. Lho kok bisa?! Karena beberapa pakar berpendapat bahwa pelajaran calistung (baca, tulis, hitung) menjadi salah satu penyebab anak mengalami mental hectic. wiihhh!😛 Sebentar, sebentar! Kalau kalian googling di yahoo (hehe) dengan memasukkan keyword mental hectic, maka referensi link yang ditampilkan akan merujuk kepada banyak informasi dalam Bahasa Indonesia. Kenapa bisa begitu?! Yaa bisa jadiii! #duerr karena istilah mental hectic memang hanya (masih asumsi) dikenal di Indonesia. Kemungkinannya, hanya anak Indonesia yang bisa terkena mental hectic, sementara anak negara lain tidak bisa.😛 Dari segi definisi, MH diartikan sebagai kondisi dimana seseorang mengalami kekacauan mental, walaupun jika dicari sekeras mungkin anda tidak akan pernah menemukan definisi resminya. Kondisi ini layaknya ketidakseimbangan seseorang dalam merasa (feel), melihat (perceive), mendengar (hear), berfikir (think), dan bertindak (act), yang pada akhirnya mengakibatkan orang tersebut mengalami ‘kebingungan’ yang pada akhirnya dapat mengarahkannya pada strees, depresi, merasa terintimidasi, ataupun merasa terancam. Tidak hanya pada anak kecil, MH juga bisa terjadi pada orang dewasa, tapi yang lebih rentan pengaruhnya terjadi pada anak usia dini. Dalam beberapa artikel yang masih dipertanyakan kebenarannya, MH bisa mengarahkan anak menjadi seorang yang pemberontak, tidak patuh, bahkan mengabaikan segala informasi yang diterimanya. Calistung menyebabkan mental hectic?! Pendidikan-Anak-Usia-Dini Inilah yang dikahwatirkan. Kegiatan belajar baca, tulis, dan berhitung dituduh menjadi salah satu oknum yang memicu terjadinya MH pada perkembangan anak. Bisa atau tidak?! Sekali lagi, yaaa bisa jadi!😀 . Melihat fenomena ini, kita harus mengembalikannya pada keadaan empiris yang melatarbelakangi terjadinya MH, yaitu kegiatan belajar. Dalam usia anak, mereka tidak bisa membedakan mana kegiatan belajar, dan yang mana kegiatan bermain. Karena pada dasarnya anak-anak adalah para pebelajar alami, yaitu generasi yang terus belajar dari kegiatan sehari-harinya. Dalam proses belajar (dalam dunia anak), pola ini pun selalu terjadi “working memory (WM) –> short term memory (SM) –> long term memory (LM)“. Pola ini bekerja dengan simultan dalam tempo yang berubah, bisa lambat dan bisa juga cepat. Kecepatan tersebut disebabkanya oleh banyak faktor, kita klasifikasikan saja disini sebagai faktor internal dan eksternal. Menurut penulis, yang paling memengaruhi kecepatan tersebut adalah jenis informasi yang disajikan. Psrisipnya jika informasi tersebut sudah tertanam dalam long term memory kita dan memberikan kesan yang baik tentu informasi baru yang berkaitan akan lebih cepat diproses. Misal begini, saya akan berikan anda sebuah ifnormasi, “JANGAN PIKIRKAN TENTANG SPONGE BOB!”. Apa yang terjadi?! Kalau tidak salah anda tadi baru saja berfikir tentang Sponge Bob bukan?! Dan sekarang anda berfikir tentang segala kelucuan yang pernah dilakukan oleh tokoh kartun kuning tersebut. Kasus tadi memang bukan informasi yang baru, hanya saja informasi tadi menyajikan sebuah kecepatan feedback (LM –> SM –> WM) yang anda alami sendiri. Sekarang, coba sesekali anda bermain video game dengan genre arcade simulation, seperti point break ataupun counter strike dalam level yang very hard. Coba menangi level tersebut, dengan tantangan yang secara bertahap makin sulit dimenangkan. Rasakan tiap detiknya dalam kondisi diburu dan memburu. Dengarkan suara desingan peluru dari revolver, AK 47, Shoot Gun, ataupun Machine Gun yang meraung-raung ketika ditekan pelatuk senjatanya. Rasakan sendiri bagaima menghindar, bersembunyi, menembak, dan perasaan manakala mati tertembak oleh musuk atau gara-gara menginjak peledak. Menang ataupun kalah, setelah bermain game tersebut, coba anda pelajari materi Fisika tentang bab menghitung proses pemuaian suatu zat. Sekarang rasakan, bagaimana proses penerimaan informasi tersebut terjadi. Cepat atau lambat? Mudah atau susah? Jika anda merasa kesulitan dalam memahami konsep tersebut, anda juga bisa digolongkan telah terkena MH. Disaat kegiatan pertama (game) dilakukan, WM sudah mengalami overload cognitive dimana skemata yang masuk sudah jauh melebihi kapasitas penyimpanan. Masalah sebenarnya bukan terjadi dalam diri anda, tetapi informasi yang disajikan sudah menguras kemampuan WM dalam bekerja, inilah mengapa setiap orang butuh untuk berehat dalam pekerjaannya. MH terjadi bisa akibat overload cognitive ataupun kegiatan yang diulang-ulang (dalam kasus anak usia dini). Calistung dapat saja menjadi potensi terjadinya MH, bahkan kegiatan sekolah pun bisa juga mengakibatkan MH. Anak usia 7 tahun yang bersekolah dari jam 7 pagi hingga pukul 13.00 atau 15.00 sore bisa berpotensi takut akan sekolah, karena kegiatan yang dilakukan setiap hari itu-itu saja, walaupun dalam pandangan kita di sekolah mereka banyak pula kegiatan bermainnya. Tapi dalam dunia anak, ini bisa menjadi proses pengekangan yang dapat berakibat fatal bagi kesehatan psikis mereka. Calistung sangat berpotensi menyebabkan MH manakala kegiatan tersebut tidak bisa mengakomodir “cara belajar” anak-anak. Proses belajar yang kaku dan sistematis adalah faktor utama anak-anak mengalami “kejenuhan”. Proses yang terus menerus diulang-ulang pada akhirnya membentuk struktur kognitif mereka “kacau balau”. Yang semestinya berkembang dengan baik, malah dihalang-halangi. Sementara yang bukan potensinya, malah dipaksakan untuk berkembang. Sebenarnya, dibanding calistung, bermain game dengan genre tertentu yang menguras emosi lebih rentan mengakibatkan mental hectic. Aspek multimedia yang menjadi tampilan dalam game dan memberikan informasi melalui dual-channel tanpa disadari membuat seseorang menguras segala kemampuan psikisnya. Yang pada akhirnya mengakibatkan orang tersebut “letih” untuk berfikir dan mengalami ketidakseimbangan dalam berperilaku. Terutama jika game yang dimainkan memberikan pengaruh langsung terhadap perilaku para pemainnya. Calistung sendiri malah bisa menjadi “obat” untuk MH, manakala metode yang digunakan sesuai dengan perkembangan jiwa peserta didik. Pembelajaran calistung yang memang harusnya tidak menjadi konsumsi utama anak-anak justru bisa mengembangkan kemampuan berfikir mereka, jika saja mereka dibiarkan bereksplorasi belajar melalui gaya mereka masing-masing. Coba saja lihat anak yang ini, bagaimana mungkin dia bisa berfikir sedemikian jika calistung dianggap tidak pas diajarkan di pendidikan anak. Sekali lagi, jangan biarkan calistung hilang dari kegiatan belajar anak-anak, terutama kegiatan belajar bahasa. Karena di usia 0 hingga 17 tahun adalah masa emas seseorang dalam mempelajari bahasa. Tidak heran ada anak Indonesia yang menguasai 14 bahasa asing ketika baru menginjak usia 17 tahun. Latih kemampuan anak-anak dengan calistung, tentu dengan metode yang sesuai dengan perkembangan mereka.